September 24, 2016

PENGARUH STRATEGI THINK PAIR SHARE (TPS) DAN KEMAMPUAN AKADEMIK TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

Publikasi pada Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 16 Nomor 2, Oktober 2009


Abstract: The constructivist learning emphasizes that in learning, a student constructs his knowledge with new knowledge which is obtained. The ability to construct knowledge relates to the ability of critical thinking. Therefore, constructivist learning as a device for the student to develop critical thinking. The purposes of this research are to know the effect of TPS strategy toward the critical thinking, to know the effect of interaction between strategy and academic ability toward the critical thinking. This quasi experimental research was conducted by using pretest-postest non-equivalent control group design with 2x2 factorial were implemented in the even semester academic year 2008/2009 Senior High School students in Kota Metro. Based on data analysis and research discussion, the conclusion can be formulated that there was an effect of TPS strategy towards the critical thinking. There was no an effect of interaction between learning strategy and academic ability toward the critical thinking. The researcher suggests that teachers need to implement TPS in biology learning, especially Senior High School students in Kota Metro.

Pendahuluan
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tidak terlepas dari upaya memberdayakan potensi siswa sebagai peserta didik dan sebagai masyarakat belajar. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Tujuan pendidikan ini merepresentasi filosofi konstruktivisme yang menekankan pendidikan pada pemberdayaan peserta didik dan berpusat pada siswa (student centered). Pendidikan berbasis kompetensi yang berpusat pada siswa dinilai lebih dapat memberikan harapan pada generasi yang akan datang dibanding pendidikan yang berorientasi pada materi, karena melalui pendidikan berbasis kompetensi, lulusan akan memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang lebih baik dibanding hanya menguasai materi saja (Depdiknas, 2005). Pembelajaran sebagai salah satu aspek pendidikan harus diselenggarakan dengan memberdayakan potensi yang dimiliki siswa, baik siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi maupun siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah.

Siswa sebagai individu yang unik dan berbeda antara siswa yang satu dengan yang lain dalam kelas, dapat dilihat dari kemampuan akademiknya. Perbedaan kemampuan akademik ini sangat penting diperhatikan dalam pembelajaran (Sidi, 2001; Winkel, 2004). Senada dengan hal tersebut, Richards (2002) menyatakan bahwa berdasarkan kemampuan akademik, maka ada tiga kelompok siswa, yaitu siswa berkemampuan akademik tinggi, siswa berkemampuan akademik sedang, dan siswa berkemampuan akademik rendah. Corebima (2006, 2007a, dan 2007b) menyatakan bahwa kesenjangan antara siswa berkemampuan atas dan bawah harus diperhatikan oleh pendidik dalam pembelajaran, diharapkan kesenjangan tersebut semakin diperkecil, baik dalam proses maupun hasil akhir pembelajaran melalui strategi yang memberdayakan potensi siswa berkemampuan berbeda ini. Pemberdayaan potensi siswa yang sangat penting adalah memberdayakan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran.

Menurut Ennis dalam Splitter (1992) serta Fogarty dan McTighe (1993) berpikir kritis merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar untuk menentukan apa yang akan dikerjakan dan diyakini. Berpikir menggunakan proses secara simbolik yang menyatakan objek-objek nyata, kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik untuk menemukan prinsip-prinsip mendasar suatu objek dan kejadian (Arends, 2004). Di dalam proses berpikir berlangsung kejadian menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama (Ibrahim dan Nur, 2000). Disampaikan oleh Diestler (1994) bahwa dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi perbedaan berdasarkan perbedaan nilai, memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu mengenali kesalahan, mampu menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda (Costa dan Presseisen, 1985). Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran.

Berpikir kritis merupakan proses kognitif dan aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Liliasari (2000) dan Krulik dan Rudnick (1999) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini mengaktifkan kemampuan melakukan analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan, kesimpulan logis, memahami implikasi argumen (Friedrichsen, 2001). Lebih lanjut McMurarry et al (1991) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Bahkan Schaferman (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran IPA oleh guru untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa adalah keharusan. Hal ini didukung oleh penyataan Friedrichsen (2001) dan King (1994) bahwa kemampuan berpikir kritis seyogyanya dikembangkan sejak usia dini. Dinyatakan oleh Presseisen (1985) bahwa agar siswa memiliki keterampilan intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan membuat keputusan. Selanjutnya, disampaikan oleh Ennis (1993) bahwa evaluasi terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi motivasi agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Selama ini guru cenderung menguatkan aspek verbal siswa dengan menghafal textbook yang dijadikan pegangan dalam pembelajaran.

Tinjauan terhadap kenyataan di Kota Metro menunjukkan bahwa pendidikan belum mencapai keberhasilan yang memadai dilihat dari proses maupun hasil belajar. Hasil survei menunjukkan 54,2% guru biologi di Kota Metro menyatakan belum memahami pembelajaran yang berorientasi konstruktivisme, 62,5% guru belum mengaplikasikan pembelajaran yang berorientasi konstruktivisme dan belum mengetahui pergeseran paradigma teaching menjadi learning, metode ceramah masih mendominasi proses pembelajaran dengan persentase guru yang menggunakan adalah 50%, pola pembelajaran teacher centered masih sangat kuat, masih terdapat 33,3% guru yang belum mengembangkan dan memberdayakan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran, siswa hanya menghafal konsep-konsep dari textbook yang diberikan oleh guru.

Ditinjau dari hasil belajar, siswa SMA di Kota Metro masih rendah, dari keseluruhan siswa belum mencapai 75% yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM), bahkan ketuntasan klasikal hanya tercapai 54%, padahal guru secara umumnya telah mengembangkan analisis KKM dengan memperhatikan aspek-aspek penentuan KKM yang meliputi kompleksitas, daya dukung (fasilitas), dan intake siswa (Muhfahroyin, 2007; 2008). Guru belum memberdayakan potensi siswa sebagaimana amanat tujuan pendidikan nasional. Kemampuan berpikir kritis belum diberdayakan dalam pembelajaran. Kemampuan akademik yang berbeda di kelas belum diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru belum mengakomodasi seluruh karakter kemampuan akademik siswa tersebut, sehingga jarak antara siswa berkemampuan atas dan bawah tetap jauh (Muhfahroyin, 2008).

Berdasarkan kenyataan pendidikan nasional dan khususnya pendidikan di Kota Metro tersebut, maka diperlukan studi yang mengkaji strategi pembelajaran dan kemampuan akademik sebagai bagian dari komponen pendidikan. Salah satu strategi pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir kritis, berorientasi konstruktivistik dan learning community adalah cooperative learning (Slavin 1995; Arends, 2004). Disampaikan oleh Slavin (1995) bahwa dengan cooperative learning siswa melakukan belajar bersama menuntaskan materi dan saling berbagi pemikiran. Ditambahkan oleh Johnson dan Johnson (1997) dan Ibrahim et al (2000) bahwa dengan cooperative learning akan melatih kebersamaan siswa dalam keberagaman dan keterampilan sosial. Ditambahkan oleh Lord (2001) bahawa dengan cooperative learning akan meningkatkan kemampuan berpikir sains biologi siswa, sikap, evaluasi, keterampilan sosial, dan keterampilan prakstis. Corebima (2007a; 2007b) menyatakan bahwa strategi cooperative learning sangat berpotensi memberdayakan pamahaman konsep dan kemampuan berpikir siswa berkemampuan akademik rendah dibanding yang tinggi.

Strategi cooperative learning memiliki bermacam-macam tipe, di antaranya Think Pair Share (TPS). Strategi TPS dalam sintaksnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir mendalam (think) tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru, selanjutnya siswa mendiskusikan dalam kelompok atau pasangannya (pair) dan menjelaskan kepada siswa secara keseluruhan (share) (Slavin, 1995; Arends, 2004). Strategi TPS memungkinkan siswa memanfaatkan sebaik-baiknya waktu tunggu untuk mempertajam logika berpikir dari permasalahan atau pertanyaan yang diberikan guru (Allen dan Tanner, 2002). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa strategi TPS membantu siswa meningkatkan prestasi belajar, kemampuan berpikir kritis, minat, dan kerjasama anggota dalam kelompok (Rustini, 2005; Iqbal, 2005; Jannah, 2006; Yuanita, 2007; dan Safitri, 2008;). Dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dan Numbered Head Together (NHT), strategi TPS memberikan pengaruh lebih baik (Rustini, 2005; dan Rozi, 2007).

Sintaks TPS memiliki penekanan pada kemampuan berpikir individu, berdiskusi dengan pasangan, kemudian hasil diskusi di-sharing-kan kepada anggota kelasnya. Implementasi TPS memiliki sinergisitas tinggi untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Berdasarkan rasionalitas strategi TPS dari segi kelebihan dan sintaks tersebut, maka dilakukan penelitian yang mengaplikasikan strategi TPS dengan tujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir kritis.

METODE
Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen pretest-postest nonequivalent control group design dengan faktorial 2 x 2. Rancangan eksperimen dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Rancangan Eksperimen Faktorial 2 x 2
Kemampuan Akademik (Y) Strategi Pembelajaran (X)
TPS (X1) Konvensional (X2)
Atas (Y1) X1Y1 X2Y1
Bawah (Y2) X1Y2 X2Y2

Keterangan:
X1Y1 = Strategi TPS pada siswa berkemampuan atas.
X1Y2 = Strategi TPS pada siswa berkemampuan bawah.
X2Y1 = Strategi konvensional pada siswa berkemampuan atas.
X2Y2 = Strategi konvensional pada siswa berkemampuan bawah.

Tabel 2 Prosedur Eksperimen Pretest-Postest Nonequivalent Control Group Design
Pretes Kelompok Postest

T1 X1Y1 T2
T3 X1Y2 T4
T5 X2Y1 T6
T7 X2Y2 T8

Keterangan:
T1,T3,T5,T7 adalah nilai pretes.
T2,T4,T6,T8 adalah nilai postes.
X1 adalah strategi TPS
X2 adalah strategi konvensional
Y1 adalah siswa berkemampuan atas
Y2 adalah siswa berkemampuan bawah

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X SMA negeri dan swasta di Kota Metro Tahun Pelajaran 2008/2009. Sampling dilakukan dengan stratified sampling untuk menentukan sekolah yang akan digunakan sebagai tempat penelitian, sehingga dari penentuan ini diperoleh 2 (dua) SMA, meliputi 1 (satu) SMA negeri dan 1 (satu) SMA swasta. Setiap SMA diambil dua kelas, sehingga diperoleh 2 (dua) kelas di SMA negeri dan 2 (dua) kelas di SMA swasta. Masing-masing kelas di SMA negeri digunakan untuk skenario strategi TPS serta konvensional. Masing-masing kelas di SMA swasta juga digunakan untuk skenario strategi TPS serta konvensional. Rata-rata jumlah siswa setiap kelas antara 33-36 siswa. Siswa pada setiap strategi (SMA negeri dan swasta) diambil 33,3% (23 siswa) untuk siswa berkemampuan atas dan 33,3% (23 siswa) untuk siswa berkemampuan bawah, sehingga diperoleh jumlah total sampel sebanyak 92 siswa. Pengelompokan kemampuan akademik siswa didasarkan pada nilai Ujian Nasional (UN) SMP. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Kota Metro pada semester genap Tahun Pelajaran 2008/2009, dari bulan Januari sampai Mei 2009. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel terikat dalam penelitian ini adalah: 1) tes kemampuan berpikir kritis, digunakan untuk memperoleh data kemampuan berpikir kritis. Tes ini dikembangkan oleh peneliti dan divalidasi oleh ahli. Sebelum digunakan, instrumen ini diujicobakan pada siswa yang tidak digunakan sebagai sampel penelitian, 2) lembar observasi, digunakan untuk mengamati keterlaksanaan RPP pada proses pembelajaran. Lembar observasi ini dikembangkan oleh peneliti, divalidasi oleh ahli, dan diujicobakan oleh guru mitra.

Tahap-tahap pengumpulan data dalam penelitian adalah melakukan pretes dan postes. Data dianalisis dengan analisis kovariansi (Anakova), uji lanjut dilakukan dengan uji beda Least Significances Different (LSD) (Sujana 1994; Winarsunu, 2007). Analisis statistik dibantu dengan software SPSS 14 for Windows, dilakukan dengan taraf signifikansi 0,05 (p<0,05). Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov, sedangkan uji homogenitas menggunakan Leven’s Test of Equality of Error Variances (Sujana, 1994). Penghitungan uji dilakukan dengan program SPSS 14 for Windows. Analisis deskriptif rata-rata skor digunakan untuk mendeskripsikan profil kemampuan berpikir kritis.

HASIL 
Rata-rata skor hasil belajar pretes dan postes beserta kategorinya dapat dijelaskan sebagai berikut. Rata-rata skor hasil belajar pretes pada semua kelompok subjek penelitian termasuk pada kategori kurang. Kelompok tersebut yaitu, strategi TPS (T), strategi konvensional (K), kemampuan atas (KA) dan kemampuan bawah (KB). Begitu juga dengan interaksi strategi TPS dengan kemampuan atas, strategi TPS dengan kemampuan bawah, strategi konvensional dengan kemampuan atas, dan strategi konvensional dengan kemampuan bawah.

Sementara itu rata-rata skor kemampuan berpikir kritis biologi postes kelompok subjek pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan atas termasuk kategori baik, demikian juga interaksi strategi TPS dengan kemampuan bawah termasuk kategori baik. Rata-rata skor tes kemampuan berpikir kritis biologi postes kelompok subjek pada interaksi strategi konvensional dan kemampuan atas termasuk kategori baik, demikian pula interaksi strategi konvensional dan kemampuan bawah juga termasuk kategori baik. Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis pretes dan postes selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 1.
Tabel 3 Rata-rata Skor Kemampuan berpikir kritis Pretes dan Postes.
No. Variabel (Pembelajaran) Pretes Kategori Postes Kategori
1 TPS (T) 20.89 Kurang 77.39 Baik
2 Konvensional (K) 21.98 Kurang 62.68 Baik
3 Kemampuan Atas (KA) 22.42 Kurang 74.71 Baik
4 Kemampuan Bawah (KB) 21.5 Kurang 73.87 Baik
5 Interaksi T - KA 21.74 Kurang 77.05 Baik
6 Interaksi T - KB 20.05 Kurang 77.72 Baik
7 Interaksi K - KA 22.4 Kurang 63.65 Baik
8 Interaksi K - KB 21.56 Kurang 61.71 Baik

Gambar 1 Profil Rata-rata Skor Kemampuan Berpikir Kritis

Keterangan:
A = TPS (T) E = Interaksi T - KA
B = Konvensional (K) F = Interaksi T - KB
C = Kemampuan Atas (KA) G = Interaksi K - KA
D = Kemampuan Bawah (KB) H = Interaksi K - KB

Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada strategi TPS lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada strategi konvensional. Apabila dinyatakan dalam persen, pembelajaran biologi dengan strategi TPS memiliki rata-rata skor kemampuan berpikir kritis terkoreksi 15,15% lebih tinggi bila dibandingkan dengan pembelajaran biologi menggunakan strategi konvensional. Ringkasan hasil uji anakova dapat dilihat pada Tabel 4.

Pada sumber kemampuan akademik siswa diperoleh p-level lebih besar dari alpha 0,05 (p>0,05) dengan Sig. 0,97. Hal ini berarti Ho yang menyatakan “Tidak ada perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang berkemampuan atas dan berkemampuan bawah” diterima. Jadi hipotesis penelitian yang menyatakan “Ada perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang berkemampuan atas dan berkemampuan bawah” tidak diterima.

Tabel 4 Ringkasan Hasil Uji Anakova Pengaruh Perlakuan terhadap Kemampuan Berpikir Kritis

Source Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 5256.785(a) 4 1314.196 42.416 .000
Intercept 8170.637 1 8170.637 263.706 .000
Pretes 236.086 1 236.086 7.620 .007
Strategi 5192.201 1 5192.201 167.578 .000
Kem.Akademik .033 1 .033 .001 .974
Strategi * Kem.Akademik 51.310 1 51.310 1.656 .202
Error 2695.596 87 30.984
Total 459178.081 92
Corrected Total 7952.381 91

Pada sumber interaksi strategi pembelajaran dengan kemampuan akademik siswa diperoleh p-level lebih besar dari alpha 0,05 (p>0,05) dengan Sig. 0,2. Hal ini berarti Ho yang menyatakan “Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi TPS dengan kemampuan akademik terhadap kemampuan berpikir kritis biologi” diterima. Jadi hipotesis penelitian yang menyatakan “Ada pengaruh interaksi antara strategi TPS dengan kemampuan akademik terhadap kemampuan berpikir kritis” tidak diterima. Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa dari yang tertinggi sampai terendah secara berurutan terdapat pada interaksi: 1) strategi TPS dengan kemampuan atas, 2) strategi TPS dengan kemampuan bawah, 3) konvensional dengan kemampuan atas, 8) konvensional dengan kemampuan bawah. Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan atas lebih tinggi 1,67% dibanding rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan bawah.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan strategi TPS berpengaruh nyata terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Siswa yang belajar dengan strategi TPS mengalami peningkatan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis lebih tinggi dibanding siswa yang belajar dengan strategi konvensional. Peningkatan kemampuan berpikir kritis dapat dilihat dari peningkatan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis sebelum perlakuan (pretes) dibandingkan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis setelah perlakuan (postes). Bila diungkap pada rata-rata skor terkoreksi, maka siswa yang belajar dengan strategi TPS lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan strategi konvensional.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan strategi TPS berpengaruh nyata terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Siswa yang belajar dengan strategi TPS mengalami peningkatan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis lebih tinggi dibanding siswa yang belajar dengan strategi konvensional. Peningkatan kemampuan berpikir kritis dapat dilihat dari peningkatan skor rata-rata kemampuan berpikir kritis sebelum perlakuan (pretes) dibandingkan skor rata-rata kemampuan berpikir kritis setelah perlakuan (postes). Sementara itu, siswa yang belajar dengan strategi TPS memiliki skor rata-rata kemampuan berpikir kritis lebih tinggi dibanding skor rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan strategi konvensional.

Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini mendukung penelitian tentang implementasi strategi TPS, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rustini (2005), dan Iqbal (2005), bahwa pembelajaran dengan strategi TPS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Pada implementasi strategi TPS siswa dalam kelas dibentuk menjadi kelompok belajar dengan anggota 2 orang, setiap kelompok memiliki anggota yang heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah (Slavin, 1995; Ibrahim et al, 2000). Seluruh anggota kelompok ini bersatupadu untuk sebuah pembelajaran yang efektif. Kerja kelompok yang dilaksanakan dalam tahapan TPS, yaitu thinking, pairing dan sharing menjadikan wahana bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpir kiritis.

Siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi TPS memiliki rata-rata skor kemampuan berpikir kritis lebih tinggi dibandingkan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan strategi konvensional. Pembelajaran yang dilaksanakan dengan strategi TPS menekankan penyampaian materi yang dilakukan oleh guru dalam kelas yang dilanjutkan dengan kerja kelompok siswa. Anggota kelompok bekerja sama menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pembelajaran dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami materi pembelajaran melalui tutorial, kuis atau melakukan diskusi. Kerja kelompok dilaksanakan dengan menekankan tahap thinking, pairing, dan sharing. Kerja sama yang baik dalam kelompok ditunjukkan dengan pembimbingan dari siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi kepada siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah, baik pada pairing maupun pada sharing sehingga terjadi proses scaffolding. Pembelajaran ini memiliki beberapa perspektif yang dapat dikembangkan, yaitu perspektif motivasi, sosial, kognitif, elaborasi kognitif, dan psikologis (Slavin, 1995; Arends, 2004). Proses pembelajaran dengan strategi TPS ini juga sesuai dengan paradigma pembelajaran konstruktivistik yang menekankan pengembangan kemampuan siswa dalam menemukan jawaban atas permasalahan yang sedang dikaji (Nur, 2000).

Kemampuan akademik tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang berkemampuan akademik atas memperoleh skor rata-rata kemampuan berpikir kritis yang hampir sama dengan siswa yang berkemampuan akademik bawah. Hasil penelitian ini tidak mendukung teori yang mengatakan bahwa siswa dengan tingkat kemampuan akademik berbeda diberi pembelajaran yang sama, maka hasil belajarnya akan berbeda (Nasution, 1988). Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tindangen (2006) yang menyatakan bahwa apabila siswa yang mempunyai berkemampuan akademik atas dan siswa berkemampuan akademik bawah diberi perlakuan pembelajaran yang sama, maka kemampuan berpikir kritisnya akan berbeda, sesuai dengan tingkat kemampuan akademiknya. Penelitian yang dilakukan oleh kedua peneliti ini menyimpulkan bahwa siswa yang berkemampuan akademik atas memperoleh kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi dibanding siswa yang berkemampuan akademik bawah.

Interaksi strategi TPS dengan kemampuan akademik atas memiliki rata-rata skor kemampuan berpikir kritis terkoreksi lebih tinggi dibanding rata-rata skor kemampuan berpikir kritis terkoreksi pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan akademik bawah. Interaksi strategi TPS dengan kemampuan atas maupun bawah memiliki rata-rata skor kemampuan berpikir kritis terkoreksi paling tinggi dibanding rata-rata skor kemampuan berpikir kritis terkoreksi interaksi strategi TPS dengan kemampuan akademik atas maupun bawah. Pada interaksi pembelajaran konvensional dengan kemampuan akademik atas memiliki rata-rata skor kemampuan berpikir kritis terkoreksi yang lebih tinggi dibanding rata-rata skor kemampuan berpikir kritis terkoreksi interaksi strategi konvensional dengan kemampuan bawah.

Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan atas lebih tinggi 1,67% dibanding rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan bawah. Penelusuran lebih lanjut terhadap kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan oleh guru sebelum pembelajaran, ternyata nilai KKM tersebut dapat dicapai oleh seluruh siswa, baik siswa berkemampuan atas maupun siswa berkemampuan bawah. Temuan ini dapat dijadikan dasar rekomendasi bahwa untuk mencapai ketuntasan belajar, guru tidak harus melaksanakan program remedial teaching, tetapi dapat diantisipasi dengan pelaksanaan pembelajaran yang memberdayakan siswa secara efektif dan efisien.

Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, interaksi strategi pembelajaran dan perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa berkemampuan atas dengan siswa berkemampuan bawah yang tidak signifikan dalam penelitian ini, berbeda dengan teori disampaikan Nasution (1988) dan hasil penelitian yang Usman (1996), dan Puspitasari (2006), Indriwati (2007) yang menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran siswa yang berkemampuan atas cenderung memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibanding siswa berkemampuan bawah. Proses scaffolding dalam penelitian ini, yaitu pada tahap thinking, pairing, dan sharing memungkinkan siswa yang berkemampuan atas membantu siswa berkemampuan bawah, sehingga siswa berkemampuan bawah mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis.

Refleksi mengenai kekurangan dalam penelitian ini adalah belum adanya lembar observasi yang dapat mengamati peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran. Perubahan kemampuan berpikir kritis siswa masih diukur melalui tes awal (pretes) dan tes akhir (postes). Menurut peneliti, untuk kepentingan mengungkap perubahan-perubahan kemampuan berpikir kritis selama proses pembelajaran sangat diperlukan, sehingga untuk penelitian-penelitian selanjutnya sebaiknya peneliti mengembangkan instrumen observasi kemampuan berpikir kritis siswa selama proses pembelajaran.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Ada pengaruh strategi TPS terhadap kemampuan berpikir kritis. Rata-rata skor siswa yang belajar dengan strategi TPS lebih tinggi 15,15% dibanding strategi konvensional. 2) Tidak ada pengaruh interaksi strategi TPS dan kemampuan akademik terhadap kemampuan berpikir kritis. Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan atas lebih tinggi 1,67% dibanding rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada interaksi strategi TPS dengan kemampuan bawah.

Saran 
Beberapa saran yang dapat disampaikan terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Strategi TPS mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, oleh karena itu peneliti menyarankan agar guru biologi SMA di Kota Metro mengimplementasikan strategi TPS dalam pembelajaran biologi. 2) Seluruh siswa berkemampuan atas dan bawah dapat mencapai KKM yang telah ditentukan, oleh karena itu peneliti menyarankan agar guru memiliki peta kemampuan akademik siswa sebagai dasar penyusunan kelompok belajar siswa. 3) Untuk penelitian lebih lanjut, sebaiknya peneliti mengembangkan instrumen observasi kemampuan berpikir kritis siswa selama proses pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN
Allen, D. and Tanner, K. 2002. Approaches in Cell Biology Teaching. Journal The American Society for Cell Biology. 1(3-5) 3-5.
Arends, R.I. 2004. Learning to Teach. Sixth Edition. New York: Mcgraw Hill.
Corebima, A.D. 2006. Keterampilan Proses: Pemberdayaan dan Asesmen. Makalah disajikan dalam Workshop bagi Mahasiswa dan Guru Pelaksana PTK A2 di Batu, Malang, 24 Juni 2006.
Corebima, A.D. 2007a. Learning Strategies Having Bigger Potency To Empower Thinking Skill and Concept Gaining of Lower Academic Students. Proceedings of Redesigning Pedagogy Conference, Nanyang, May 28-30 2007.
Corebima, A.D. 2007b. Learning Strategies To Empower Students Thinking Skill. Proceeding of International Conference on Science and Mathematics Education (CosMed) SEAMEO RECSAM, Malaysia, Nopember 13-16 2007.
Costa, A.L. dan Presseisen, B. Z. 1985. Glossary of thinking skills. Dalam A.L. Costa (Ed.). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. (hlm. 303-312). Alexandria : ASCD.
Depdiknas. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2005. Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005. Jakarta: Depdiknas.
Diestler, S. 1994. Becoming a Critical Thinker A User-Friendly Manual. New York: Macmillian Publishing Company.
Ennis, R.H. 1986. A Taxonomy of Critical Thinking Dispositions and Abilities. Dalam J. Baron and R. Sternberg (Ed.). Teaching Thinking Skills: Theory and Practice. W. H. Freeman.
Ennis, R.H. 1993. Critical Thinking Assesment. Journal Theory and Practice. 32(3) Summer 1993. Ohio: Ohio State University.
Fogarty, R. and McTighe, J. 1993. Critical Thinking Assesment. Journal Theory and Practice, 32(3) Summer 1993. Ohio: Ohio State University.
Friedrichsen, P.M. 2001. A Biology Course for Prospective Elementary Teachers. Journal The American Biology Teacher, 63(8): 562-568.
Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur, M., Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA-University Press.
Ibrahim, M. dan Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasar Masalah. Surabaya: UNESA-University Press.
Indriwati, S.E. 2007. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Akademik terhadap Hasil Belajar Kognitif dan Kecakapan Hidup Mahasiswa Biologi FMIPA UM. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.



Sumber: Muhfahroyin
Dosen: UM Metro Lampung

0 komentar:

Posting Komentar

FILM PENDEK PENDIDIKAN

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA...SEMOGA BERMANFAAT...

 
script widget/iklan/script lain anda disini